Sumber : SUARA MERDEKA (13 Feb, 2012)
( Analisis berdasarkan pada bab 3 “KESENJANGAN GENDER BIDANG
HUKUM, POLITIK, DAN PEMERINTAHAN)
Dalam artikel yang telah saya baca,
yaitu mengenai fenomena “bad women”, di dalamnya dijelaskan bahwa saat ini
sejumlah perempuan telah menunjukkan dirinya mampu untuk menjadi seorang
pemimpin tangguh dalam bidang politik, namun belum semuanya dapat dikatakan
baik, karena saat ini muncul istilah “bad women” untuk beberapa politikus
perempuan, yang dimaksudkan bad women
adalah wanita yang terjerat kasus hukum atau terjerat perkara menarik perhatian
publik. Sebut saja misalnya Wa Ode Nurhayati, Miranda S Goeltom, Nunun
Nurbaeti, Yulianis, Mindo Rosalina Manulang, Neneng Sri Wahyuni, dan juga
Angelina Sondakh. Mereka terlibat hukum dikarenakan korupsi.
Pelabelan “bad women” pada para
politikus perempuan yang terjerat hukum merupakan salah satu gejala masih
adanya kesenjangan gender dalam bidang politik. Mengapa tidak pernah disebutkan
istilah “bad man” untuk para politikus laki-laki yang terjerat hukum?. Secara
tidak langsung dengan adanya pelabelan tersebut dapat mempengaruhi kepercayaan
masyarakat untuk memberikan kesempatan perempuan menjadi seorang pemimpin atas
mereka. Padahal sesungguhnya, kita ketahui bersama, di luar sana sangat banyak
para politikus laki-laki yang melanggar hukum, namun kasusnya tersebut tidak
begitu disorot media dibandingkan ketika perempuan terlibat masalah hukum.
Berbicara tentang perempuan dan
politik, tak lepas dari image dan konstruksi sosial perempuan dalam relasi
masyarakat. Image yang diteguhkan dalam masyarakat adalah konsep-konsep
stereotip tentang perempuan diberbagai sektor politik dan pemerintahan.
Pandangan yang berasal dari stereotip tersebut adalah “perempuan tidak layak
memimpin, karena perempuan tidak rasional dan lebih mengandalkan emosi”. Dengan
adanya pelabelan bad women maka image masyarakat akan kembali kuat mengenai
stereotip tersebut diatas. Hal ini tentu saja dapat mengancam para perempuan
yang terlibat dalam dunia politik dan pemerintahan, karena kebanyakan
masyarakat kita jika melihat dalam satu kelompok sosial tertentu ada yang tidak
baik, maka semuanya akan dianggap tidak baik, dan tentu saja akan mengurangi
kepercayaan masyarakat tentang adanya para politikus perempuan yang dapat
bertanggung jawab atas pekerjaannya dengan baik.
Ditambah lagi dengan adanya UU
politik yang menyebutkan “.…Dapat mewakili sekurang-kurangnya 30% perempuan….”
Hal yang perlu kita cermati yaitu kata “dapat”, memgapa bukan kata “harus”. Dan
kita lihat faktanya, banyak partai politik yang tidak memberikan kepercayaan
penuh kepada para perempuan untuk ikut andil dalam partainya sevanyak 30%.
Padahal kita ketahui bersama, bahwa jumlah perempuan di indonesia lebih banyak
dibandingkan jumlah laki-lakinya. Ini merupakan ketidakadilan terselubung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar