Selasa, 06 Desember 2011

METODE PENELITIAN PENDIDIKAN

PENGARUH PEMBAHARUAN SISTEM PENILAIAN KELULUSAN SISWA DENGAN PENGGABUNGAN NILAI UJIAN NASIONAL DAN NILAI UJIAN SEKOLAH TERHADAP MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA


Ujian Nasional biasa disingkat UN adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Depdiknas di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Proses pemantauan evaluasi terus dilakukan dan berkesinambungan pada akhirnya akan membenahi mutu pendidikan di Indonesia. Pembenahan mutu pendidikan dimulai dengan penentuan standar nilai kelulusan. penentuan standar yang terus meningkat setiap tahunnya diharapkan  akan mendorong peningkatan mutu pendidikan. standar pendidikan adalah penentuan nilai batas akhir, di mana seseorang akan dinyatakan lulus bila telah melewati nilai batas tersebut. Standar lulus Ujian Nasional tahun 2011 mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yaitu siswa harus memperoleh nilai minimal 5,5 di mana maksimum 2 mata pelajaran dengan nilai minimum 4 dan maksimum 4 mata pelajaran di atas 4,25. 


Sebuah perubahan yang terjadi pada Ujian Nasional tahun ini, yaitu seperti yang telah ditegaskan oleh Mendiknas, bahwasanya ada empat faktor yang menentukan kelulusan siswa, yakni ujian sekolah, ujian nasional, ketuntasan belajar mengajar, dan akhlak. Sistem penilaian dalam menentukan kelulusan siswa kali ini adalah nilai ujian nasional yang berjumlah 6 mata pelajaran digabungkan dengan nilai  ujian sekolah yang juga berjumlah 6 mata pelajaran yang kemudian nilai tersebut dibagi dua.
Sebuah sekolah pastilah bangga ketika semua siswanya dapat lulus, namun apakah itu tujuan utama dari pendidikan di Indonesia, ketika mereka harus mengejar nilai tanpa memperhatikan mana yang harus dan tidak diperkenankan dilakukan. Kita lihat fenomena yang ada sekarang, bagaimana seorang guru tidak diperbolehkan memberikan nilai jelek kepada siswanya, padahal siswa yang berkenaan tidak layak mendapatkan nilai bagus, semua dipaksakan, atau dalam kata lain hanya segi kognitifnya saja yang diprioritaskan, tanpa memperhatikan segi afektif dan psikomotorik siswa.
Seperti yang telah dipaparkan diatas di mana system penilaian kini dirubah dengan mengikutsertakan nilai ujian sekolah yang kemudian dari nilai ke duanya tersebut dibagi dua. Memang hal ini sekilas dianggap baik, karena bukan hanya UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa, namun dibalik keputusan itu tersimpan juga beberapa efek negatif dari sistem penilaian tersebut. Jika kita lebih jeli dan kritis, maka pastilah akan berfikir tentang bagaimanakah cara yang dilakukan / diupayakan oleh siswa maupun pihak sekolah dalam hal ini lebih kepada guru untuk dapat meluluskan peserta didiknya?  
Mungkin dengan adanya peran ujian sekolah sebagai penentu kelulusan menjadikan seorang guru harus pandai mengotak atik nilai untuk meluluskan peserta didiknya dengan nilai yang dirasa cukup memuaskan. Hal ini baru kemungkinan, namun juga harus di waspadai, dan sebaiknya ada penanganan lebih lanjut untuk mengatasi hal tersebut.
Berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan telah dilakukan oleh pemerintah seperti kenaikan standar nilai ujian nasional disetiap tahunnya. Namun sebenarnya bukan hanya itu saja yang harus diperhatikan masih banyak hal lain yang sangat berpengaruh terhadap mutu pendidikan nasional Indonesia. Mutu pendidikan dikatakan baik  jika semua komponen pendidikan mampu berperan dengan baik, seperti siswa yang dengan sungguh-sungguh belajar, dan mampu menguasai mata pelajaran yang telah diajarkan oleh guru, sarana dan prasarana yang memadai, keprofesionalan guru dalam mengajar, kurikulum yang sesuai dengan kriteria peserta didik, dan lain sebagainya.
Atas segala permasalahan yang ada, penulis merasa tertarik untuk meneliti hal tersebut, dimana masih dijadikannya Ujian Nasional sebagai momok yang menakutkan bagi siswa juga guru, karena sekolah selama 3 tahun hanya ditentukan oleh nilai ujian akhir siswa. Sehingga berbagai cara dilakukan demi tercapainya standar nilai/ ketuntasan minimal yang tahun ini mencapai 5,5, dan cara tersebut tak selamanya baik, seperti adanya suatu tindak kecurangan yang dilakukan baik oleh siswa maupun guru. Tindak kecurangan yang dimaksudkan adalah seperti yang telah terkuaknya kasus-kasus dalam pelaksanaan Ujian Nasional, sebut saja perilaku mencontek yang masih melekat erat pada siswa, dan hal tersebutpun tidak mendapatkan teguran dari pihak pengawasan, alasan yang diberikan oleh pengawas cukup logis memang, di mana mereka tidak mau peserta didik tidak lulus. Selain itu juga masih banyak  kasus-kasus lain, yaitu misalnya adanya kebocoran kunci jawaban yang terkadang gurulah yang memberikannya, adanya joki UN yang biasanya dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kemampuan otak melebihi rata-rata dan menawarkan jasanya untuk menyelesaikan soal ujian kliennya tentu dengan imbalan yang tidak sedikit, namun tak semuanya upaya yang dilakukan oleh siswa maupun pihak sekolah negatif, banyak pula yang mereka isi dengan kegiatan positif baik pra ujian maupun ketika ujian berlangsung yaitu dengan menambah jam pelajaran tambahan (jam ke 0), kursus di luar jam sekolah, berdo’a bersama, hingga sampai ada yang berpuasa, sholat malam, dan lain sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar